Sebuah Cerita
Aku membenci kondisi ku yang sekarang ini, ya jauh dalam diriku begitu rasanya. Namun dokter bilang, semakin aku membenci keadaanku aku tidak akan segera keluar dari rumah sakit. Aku harus bersyukur dan menerima kondisiku yang sekarang ini tambahnya. Itu akan membantu menyembuhkanku dengan cara yang belum diketahui oleh ilmu medis saat ini. Namun ini berat bagiku dan perlu cukup waktu. Karena ini sungguh tiba-tiba terjadi padaku.
Proses penyembuhan secara medis sudah tidak memungkinkan lagi. Entah apa yang diidap oleh raga ini. Perawatan dan pengecekan sudah sering dilakukan. Berbagai macam obat telah aku lahap, bahkan mirip seperti makan permen atau suplemen makan. Tapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada kemajuan berarti bagi keadaan fisik ini. Sedih rasanya memang, hanya berbaring seharian dalam buaian ranjang. Yang kata mereka gaya tarik gravitasi ranjang itu kuat dan menyenangkan, tapi teori itu terbantahkan dan tidak berlaku disini.
Meskipun begitu aku masih bisa keluar jika hanya sesekali, dan itu harus memanggil perawat untuk menyiapkan alat. Jalan-jalan keluar tidak membuatku membaik, hanya iri yang bisa melihat orang lain berjalan begitu bebas. Jalan-jalanku juga tentunya terbatas, bahkan tidak sampai keluar rumah sakit. Dokter tidak mengizinkan aku berlama-lama dan jauh dari ruanganku.
Sempat di suatu saat, aku mencoba mengingkari apa yang dokter katakan dan akhirnya aku pingsan tak sadarkan diri di halaman belakang rumah sakit. Itu bukan tanpa alasan, aku bertemu seorang perempuan yang mungkin seumuran denganku. Dia begitu ceria dan terbuka pada orang lain, tentunya pada diriku juga.
Dia bercerita banyak hal, dan ternyata dia juga pasien yang sudah lama di rumah sakit ini. Aku tidak tahu detail penyakitnya, namun ia tidak dijejali dengan impus yang harus dibawa kemana-mana layaknya orang sakit.
Satu jam pertama dia bercerita padaku, tentang pengalaman sekolahnya, jalan-jalan yang pernah sampai ke gunung sumeru dengan temannya, hingga dimarahin orang tua karena lupa makan. Unik memang, dia bahkan baru bertemu denganku hari itu tapi begitu bercerita banyak. Dan karena itu membuatku secara tak sadarkan diri ikut berbagi dan mulai terbuka dengan perempuan itu.
Aku mengeluhkan penyakitku padanya. Ketika Aku tanyakan namanya, dia terlihat mengangguk bingung. Namun sejurus kemudian perlahan Tania katanya. Ketika aku menanyakan kenapa dia di rumah sakit ini, dia terlihat murung. Sekejap kemudian, dia mengalihkan topik pembicaraan. Untuk menutupi hal itu, dia memberikan alamat rumahnya. Dan mengataka bahwa Dia dan Aku akan sembuh, mungkin aku membutuhkan alamat itu dan disuruh menyimpannya.
Dia begitu optimis dengan keadaannya, dan menyarankan aku juga untuk tidak terus mengeluh harus bersyukur masih ada orang yang lebih parah dari diriku. Seakan Dia tahu apa yang sedang melanda pikiranku. Dia bercerita katanya sering mengunjungi beberapa ruangan dan berbicara dengan pasien lainnya. Dan memberiku saran harus banyak bergaul disini dan lebih terbuka agar hidup berarti itu terasa. Dia juga minta pertemuan denganku untuk tidak diberitahukan pada orang lain, aku hanya mengangguk setuju.
Aku sedikit memahaminya, kenapa Dia bisa akrab dan mungkin disukai banyak orang. Dia orang yang humble dan optimistis. Senyumannya yang membuat orang lain merasa tenang, dan terlihat cantik. Meskipun aku tidak tahu apa penyakitnya dan bahkan perawakannya tidak memperlihatkan Dia sedang sakit. Aku hanya memikirkan sesuatu yang entah mengapa sedikit bergelora dalam diri, mungkin aku tertarik padanya. Dan entah mengapa terpintas aku ingin segera sembuh begitu kuat.
Sebelum aku pingsan, Dia membuat janji padaku untuk bertemu satu bulan dari sekarang di tempat yang sama. Aku mengangguk, namun sejurus kemudian tubuhku teras lemas dan pandanganku terasa kabur dan gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, namun ketika Aku terbangun Aku sudah berada di ruanganku dan kebetulan ada temanku yang sedang menjenguk. Aku tanya padanya, berapa lama aku pingsan. Katanya dari dokter Aku pingsan selama dua hari.
Selepas temanku pulang, perawat datang padaku, dan menasihatiku dengan cukup tegas untuk tidak berlama-lama di luar karena tidak baik bagi keadaanku. Aku hanya mengangguk dan mengiakan saja. Perawat dan dokter tidak menceritakan padaku apa yang terjadi setelah Aku pingsan, tapi tidak penting juga bagiku dan aku berasumsi mungkin Tania yang memanggil dokter atau siapalah untuk menolongku di bawa kesini.
Setelah pertemuanku dengannya, aku begitu optimis dan bertekad akan sembuh serta meminta pada Yang Maha Kuasa dan Menyembuhkan. Aku mulai dengan menerima keadaanku bahwa Aku sakit dan kemungkinan sembuh secara medis sangat kecil. Meski begitu, Aku percaya bahwa ada yang berkuasa di atas sana yang bisa menyembuhkanku. Dua minggu kemudian, aku melakukan cek rutin dengan dokter. Dengan terheran-heran dokter mengatakan bahwa tubuhku mengalami kemajuan yang cukup dan bahkan mungkin beberapa minggu lagi akan sehat.
Namun aku tetap harus menggunakan beberapa alat jika ingin bepergian ke luar. Secercah harapan dan cahaya masuk ke dalam diriku. Aku teringat janji dengannya, ya dua minggu lagi. Dan ingin ku berterima kasih untuk saran dan dukungannya yang sangat membantu, padahal dokter sudah pernah bilang duluan tapi mengapa jika Dia yang mengatakannya serasa beda caranya masuk ke dalam sukma.
Tepat sebelum satu bulan dari pertemuanku yang pertama, sedari pagi aku sudah minta dokter untuk menyiapkan beberapa alat besok hari. Entah kenapa, akupun tidak mengetahui, sebulan dari rangkaian sepuluh bulan yang lain begitu merasa optimis dan tertarik pada suatu hal lagi. Hasil cek yang terakahir saat ini, aku tidak lagi didiagnosis memiliki penyakit apapun. Dokter berkata tidak percaya, dan mengatakan ini sebuah keajaiban dari yang Maha Kuasa. Kemudian dokter mencoba membuktikannya dengan memberikan serangkaian tes padaku dan disuruh aktivitas sedikit berat di luar. Hasilnya, aku sehat dan normal kembali seperti sedia kala.
Aku minta dokter untuk tidak terlebih dahulu memberi tahu orang tua dan kerabatku, aku masih harus tinggal disini sampai esok hari karena memiliki janji dan hutang budi pada seorang perempuan. Dalam benakku, aku sudah membayangkan apa yang terjadi esok hari. Aku akan menceritakan pengalaman sebulan ini dan berterima kasih padanya telah memberikan motivasi padaku. Bahkan, dalam benakku terpintas jika dia keluar rumah sakit aku ingin menikahinya. Dengan umurku yang sudah dua puluh satu tahun ini sudah memungkinkan, namun aku simpan banyangan itu rapat-rapat.
Esok harinya, aku sudah siap pergi menemuinya. Aku berniat menunggunya terlebih dahulu persis seperti sebulan lalu dimana Dia datang secara tiba-tiba padaku. Aku sedari pagi duduk-duduk memperhatikan bunga yang sengaja ditanam di taman belakang rumah sakit. Bunga yang terseok angin sepoy pagi bergoyang perlahan. Bunga yang indah, seakan meliuk dan melambai-lambaikan tungkainya padaku yang duduk sendirian.
Hingga siang tiba, belum nampak juga kehadirannya. Aku bersabar menunggunya, dan meyakinkan perkelahian dalam kognisiku bahwa tidak mungkin Dia lupa janjinya. Menjelang sorepun tidak nampak sosoknya pula. Aku berniat mencarinya, namun Dia tidak pernah memberikanku nomor ruangannya. Rumah sakit ini cukup besar juga. Dalam sebulan ini juga , bukan hanya sebulan selama aku di rumah sakit, dia tidak pernah terlihat atau mengunjungi ku. Yang katanya Dia sering bercengkrama dengan pasien lain.
Aku tanyakan kepada beberapa perawat dimana aku dapat menemukan daftar nama pasien yang rawat inap. Setelah nanya kesana-kemari dan sampai pada petugas yang mencatat semua data pasien rumah sakit. Namun, petugas itu tidak menemukan pasien yang bernama Tania selama satu bulan terakhir. Dan aku mitnta untuk cek pasien satu tahun terakhir, hasilnya ada yang bernama Tania yang mana sudah pulang tiga bulan yang lalu. Namun petugas itu tidak memberi tahu detailnya karena merupakan rahasia rumah sakit dan aku tidak punya hubungan apapun dengannya.
Teringat, aku memiliki alamat rumahnya. Aku tidak sempat membaca itu, tempat itu serasa tidak asing. Dan ternyata cukup jauh beberapa jam dari rumahku menggunakan sepeda motor untuk mencapai alamat tersebut. Namun di baliknya terselip nomor telepon rumahnya. Aku mencoba mencari telepon yang bisa digunakan dan bergegas ke luar rumah sakit. Tepat di depan rumah sakit masih ada telepon umum yang dijaga karena takut ada yang membutuhkan dalam keadaan mendesak.
Sejurus kemudian Aku tiba di telepon umum, lengang tidak ada orang yang mengantri. Aku mencoba menekan tut nomor telepon secara perlahan. Dan tersambung dengan nomor yang ada pada catatan kecil itu. “Hallo, dengan siapa ini ?” Suara perempuan yang tidak aku kenali membuatku sedikit lemas, namun mungkin asumsiku menguatkan itu mungkin Ibunya Tania. “Apa ini dengan Tania atau dengan keluarganya ?” Jawabku. Ditambah dengan perkenalan diriku yang mana Aku temannya ketika di rumah sakit, bukan teman sih tapi orang yang ditemuinya. Sesaat lengang di telepon dan terdengan sedikit isakan dan tidak tahu apa yang terjadi di seberang sana. “Nak, maafkan Ibu.
Tania sudah wafat tiga bulan yang lalu” dengan suara parau dan sesekali diiringi isakan menandai belum ikhlas melepas anaknya. “Kamu mengalami hal yang tidak menyenangkan” tambahnya. Ibu itu terus bercerita “Tania sudah sakit-sakitan sejak usia anak, dia jarang memiliki teman bahkan sedikit itu juga tidak seperti kebanyakan anak lainnya. Dia harus cek in ke rumah sakit terus dan kondisinya cukup lemah.
Satu minggu sebelum Tania wafat, Tania sempet bicara pada Ibu, dia ingin menikah dan memilik teman dan ingin sembuh. Penyakitnya bisa sembuh jika Dia menjalani operasi, namun kemungkinan operasi sembuh itu tidak sampai dari separuh kemungkinan berhasil”. “Tania memberanikan diri dengan semangat itu, namun takdir berkata lain Tania gagal dalam proses operasi” cerita ibunya tanpa Aku minta karena mungkin ibu itu terlalu cinta dan belum mengikhlaskannya.
Aku hanya termenung mematung mendengarkan Ibu Tania bercerita. “Maafkan Ibu nak, dulu Ibu melarangnya untuk keluar terlalu lama karena kondisinya yang tidak sehat. Mungkin dia ingin memiliki teman yang bisa diajaknya bercerita”. Tutur Ibu itu dengan suara rendah. “Ibu terima kasih atas informasinya, mohon maaf telah membuat Ibu bercerita dan mengingatkan kejadian yang tidak mengenakan itu, sekali lagi terima kasih” Sambungku lalu menutup telepon dengan tidak percaya siapa yang telah aku temui saat itu, siapa kamu sebenarnya. Banyak pertanyaan yang hinggap di kepalaku. Sejalan dengan dijejali pertanyaan, air mata mulai menetas tidak disadari membasahi air muka ku dan tubuhku terkapar lesu.
Penutup
Oke teman-teman untuk kali ini dicukupkan sekian, semoga bermanfaat. Untuk postingan lain silahkan kembali ke beranda. Terima kasih.
Bagi kamu yang memiliki kritik dan saran yang bersifat membangun blog ini dan atau memiliki artikel yang ingin dimuat dalam blog ini silahkan kirimkan tulisanmu ke e-mail berikut : aripviker@gmail.com
0 Komentar
Trackbacks/Pingbacks