Pendahuluan
Kali ini Arif Keisuke akan memuat artikel kisah pungguk mengharapkan rembulan. Sebuah kisah cinta sejati yang tidak berbalas madu bagi sang Pungguk, kalau kata orang. Namun bagi Pungguk, Ia telah menjadi pecinta sejati yang tetap memberikan jiwa dan raganya untuk sang Rembulan terkasih meskipun takdir tidak memihak padanya.
Kisah yang terinspirasi dari novel Layla dan Majnun yang dipopulerkan oleh Nijami Ganzavi. Semoga kamu bisa mengambil pesan implisit dari kisah ini. Baca skuy kisah Pungguh mengharapkan rembulan.
Yuk langsung baca dan jangan lupa bagiin artikel Kisah Pungguk Mengharapkan Rembulan ke teman kamu yang lain.
Kisah Pungguk Mengharapkan Rembulan
Seorang Pecinta Sejati
Memandangi indahnya rembulan sudah cukup bagi pungguk, meskipun hasrat untuk memiliki mengobar dalam dirinya. Tidak membuat Ia kerdil dan tunduk terhadapnya. Sang Pungguk pun sadar betul, cahaya rembulan tidak hanya untuknya saja. Bahkan mungkin, perhatiannya tidak diketahui sang rembulan. Meskipun begitu Ia tetap tidak bergeming dan terus memandangi rembulan yang Ia harapkan. Oh Rembulan, yang cahayanya memesonakan mata. Kau bagai Mawar di kebun pada musim semi. Mekar dan menjadi tumbuhan indah di antara belukar. “Sekali saja, saya berharap kemilaumu hanya menyinariku” pikir si Pungguk.
Namun, memang keadaan memihak takdir lain. Sang rembulan dengan takdirnya sendiri, untuk menyinari dan dilihat orang lain. Termasuk sang pungguk juga. Yang akhirnya sang Pungguk hanya puas memandanginya saja, tanpa tunduk pada hasrat yang berkobar dalam dirinya. Meski begitu, kebimbangan terjadi dalam pikirannya. Tanpa sadar ia hanya bisa melantunkan sajak dan ode kepada orang lain.
Hari demi hari, akhirnya Sang Pungguk tidak lagi kuat menahan kobaran cinta dalam dada. Bara api cinta dalam jiwanya terus membesar. Ia terbakar dalam api cinta, namun bersamaan juga tenggelam dalam air mata kepedihan. Setiap malam, Ia selalu menunggu hujan. Berharap ada kabar yang dibawa jatuh dari Rembulan. Namun apabila hujan, Pungguk tak dapat memandangi Rembulannya. Sebuah obat kerinduan yang bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menanam luka dalam jiwa.
“Rembulan, aku terjatuh, bukan kehendakku menjatuhkan jiwa kepadamu. Datanglah rembulanku, jemput aku dan bawalah aku mengitari semesta gelap ini” Jerit Pungguk. Pungguk sudah kehilangan jiwa dan akalnya. Yang ada dalam dirinya hanya Rembulan. “Wahai rembulanku, kau bersinar di kegelapan malam, melati di musim semi dan cahaya yang menerangi lilinku” Malam itu dawai-dawai sajak keluar dari mulut Pungguk. Orang lain hanya mencela dan heran terhadapnya. Mereka tak tahu menahu seberapa besar sungguh cintanya untuk Rembulan. Mereka yang tidak pernah merasakan rasa sakit seperti ini tidak dapat memahaminya. Pungguk merasa orang menasihatinya dengan harapan mereka memadamkan api cinta pungguk, namun justru yang dirasa Pungguk malah memperbesar lautan api cinta terhadap rembulan.
Baca juga: Memahami Makna Cinta Sesungguhnya dari Novel Sufistik – Resensi Buku Layla dan Majnun Karya Nizami
Awal-awal Pungguk masih sering pulang ke rumah. Tapi orang sekitarnya malah mencemooh dan menatapnya aneh karena mengharapkan Rembulan. Sorot mata orang yang tajam dan tak mengerti seberapa besar cintanya pada rembulan membuat Pungguk perlu mengasingkan diri. Ia menepi dalam kesepian. Di setiap malam, setiap purnama, Pungguk selalu memandangi Rembulan, kekasihnya. Tidak ada hal lain yang memenuhi jiwanya, kecuali Rembulan.
Ketika malam-malam mendung tiba, pungguk gelisah tak karuan. Rembulan yang dirindukannya hilang tak berjejak. Lenyap ditelan gelapnya semesta. Tak tahu ke mana Ia pergi laksana kapal yang melintasi horizon di ujung sana. Pungguk merasa sepi. Kegelisahan diri terus menjadi. Membuat Ia mendawai kan sajak indah memuja kecantikan sang Rembulan. Malam yang mendung terus menyelimuti langit tempat Pungguk tinggal. Tanpa kabar ke mana kekasihnya, Rembulan, itu pergi. Rasa sakit dan gundah menggelora dalam jiwanya. Ketidaksabaran membelenggu hati Pungguk. Hasrat ingin bertemu Rembulan bak anak kecil yang meminta sesuatu, ingin selalu cepat laksana. Tapi apa peduli hal itu? Pecinta mana yang tidak ingin bertemu kekasihnya? Jiwa yang terbelenggu raga juga meronta ingin kembali ke dekat sang Terkasih.
“Rembulanku kenapa kau tidak mengerti. Aku di sini menunggumu. Setiap malam, seribu purnama ku lewati hanya menunggumu datang. Ke mana engkau wahai Rembulanku. Ketika angin timur tiba, aku menitipkan pesan kepadanya untukmu, berharap ada jawaban datang. Jiwa yang sudah mabuk sungguh menyayat luka ketika tidak bersama sang Terkasih. Wahai Rembulan, cinta telah membuatku lemah tak berdaya. Laksana air yang menetes bebatuan. Lambat laun akan hancur berkepingan. Cinta yang kau bawa membuat hatiku pecah tak bertuah. Ketika jauh darimu aku merasa gelisah, tapi ketika dekat denganmu aku merasa memikul tanggung jawab yang besar. Hingga aku terus merana dan mendesis karena cinta. Mereka memandangiku aneh dan menganggap tidak waras karena cinta. Duhai manusia, mana ada cinta yang menyesatkan hidup. Alangkah kering jiwa dan hatinya yang merasa cinta itu akan menyesatkan”.
Baca juga: Mencari Jawaban Seputar Kehidupan dan Perjalanan Hidup – Resensi Buku Misteri Soliter
Ketahuilah wahai rembulanku. Cinta masuk ke dalam sanubari ini tanpa diundang. Ia datang tiba-tiba tanpa mengetuk pintu qalbu. Bersemayam dalam dada. Aku dibuat mabuk karenanya. Cinta telah melilit nurani dan jiwaku. Duhai Rembulan, jiwa mana yang bisa terbebas dari pelukan cinta? Kecuali manusia yang kering hati dan jiwanya. Rembulan, kekasihku, aku relakan jiwa, akal dan ragaku untukmu. Pengorbanan pecinta terhadap sang terkasih tidak akan pernah sia-sia. Kebahagiaan dan kesedihan sama saja indah bagi seorang pecinta. Karena cinta sejati tidak pernah mengenal kesia-siaan.
Mereka yang merasa kecewa atas nama cinta, sungguh bukan cintalah yang mereka cari, tetapi nafsu yang membelenggu. Jiwa pecinta akan selalu memaafkan. Mereka yang mengenal cinta sejati, bagai unta yang berjalan berduaan di padang gersang. Meski tubuh dan raga menjerit binasa, pecinta selalu bersama. Wahai rembulan, jiwa yang dipenuhi nafsu maka hatinya akan lemah. Ia mencoba terus merayu dan menggoda. Tapi kelak akan menyesal tak berkesudahan. Ia tidak akan puas dan kecewa apabila apa yang diharapkan tak datang kepadanya. Itulah nafsu yang mengundang kebencian pada hati dan jiwa manusia. Ketahuilah Rembulanku, cintaku akan terus kusiram dengan air mata kebahagiaan. Tali cinta yang melilit jiwa akan terus melekat. Meski engkau jauh dariku, cinta akan tetap tumbuh dan berkobar dalam dada.
Baca juga: Menyambut Kematian dengan Jiwa Bahagia, Resensi Buku Psikologi Kematian
Rembulan, matamu berhiaskan bintang biru memabukkan. Senyumanmu mengobarkan api cinta. Kau bagai penyair yang membuat mabuk para pendengarnya. Dawai auramu melemahkan diri. Meski aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan, sudah cukup membakar dada dengan nyala api cinta. Mengingatmu membuat jiwa ini lupa kehidupan. Kau bagai penyihir yang melumpuhkan hati dan pikiran. Wahai rembulan, cintaku padamu datang tiba-tiba tumbuh tak disadari. Setiap hari kusiram ia dengan air kerinduan. Kata orang, rindu dan kenangan merupakan bahan bakar cinta. Itu memang benar adanya.
Katakan padaku manusia mana yang tidak akan selamat dari kerinduan bertemu sang terkasih. Hanya manusia yang hatinya kering dan gersang yang tidak merindukan sang Terkasih. Tetapi mereka mempertanyakan siapakah Rembulan itu? Mereka cukup tahu dari asma dan keelokannya dari pujian sang pecinta. Rembulan memiliki mata yang menyejukkan, senyum yang mengundang bara api cinta pada siapa yang melihatnya dan mengingatnya. Tidakkah kau mengerti keagungannya. Rembulan, semoga kau bisa membaca pertanda. Kusampaikan semua tanda kepada angin malam. Berharap sampai kepadamu. Aku tunggu kabar darimu, tapi tak kunjung juga tiba. Hingga waktu terus berlalu. Namun Pungguk tetap tak bisa menangkap tanda takdir bersama.
Akhir cerita
Malang nasib Pungguk. Rembulan yang dicintai sepenuh jiwa dan raganya terpinang oleh yang lain. Di kala fajar berakhir, Rembulan bersembunyi di balik bayang mentari. Saat itulah Pungguk kehilangan arah karena lengah. Ternyata kasih Rembulan sudah terkasih pada mentari. Namun Pungguk belum mengetahui hal tersebut sebelum sang Mentari sendiri membawa kabar lara padanya. Kabar tersebut membuat Pungguk termenung begitu dalam. Akhirnya Ia pun pingsan berhari-hari.
Kabar perjalinan kisah kasih antara Rembulan dan Mentari membuat Pungguk kehilangan dirinya. Ia berteriak dan menjerit mengumbar luka ke setiap orang yang ditemuinya. Sajak-sajak yang didendangkannya berubah menjadi duka menyakitkan. Setiap syair yang keluar dari mulutnya berisi kisah pilu tentangnya.
Pungguk seorang pecinta sejati tidak membenci Rembulan. Namun Pungguk mencerca takdir yang tidak mau memihak padanya. Guratan takdir mereka jauh sekali dari pertemuan. Seakan takdir cinta Pungguk menebarkan duri perih ketika dilaluinya. Air matanya menetas tak terbendung bak hujan di musim penghujan. Cinta menjerit dalam jiwa dan hatinya. Kisah hidupnya adalah kisah cinta penderitaan.
“Rembulan, kau bagaikan bidadari bagiku. Namun tak dapat kutangkap karena kau terus terbang ke angkasa. Kau adalah obat rasa sakit penderitaanku, namun juga bagaikan pedang yang menusuk relung jiwaku. Kukagumi diri mu, namun kau berada di balik bayang orang lain. Sedang Aku hanyalah pengemis kesepian yang terkulai luka karena takdir cinta ini. Apakah kau dapat melihat sinyal-sinyal dan pertanda cinta saat aku menatapmu wahai Rembulan?” Lirih Pungguk.
Baca juga: Cerminan Perlakuan Pada Anak Spesial Dalam Pendidikan – Resensi Buku Totto Chan Gadis Cilik Di Jendela
“Tapi kenapa Rembulan, kau mengobarkan serpihan cinta padaku seakan kau membuka pertanda untukku. Mengapa kau begitu tidak berperasaan? Bukankah kau juga merasakan takdir cinta ini? Aku di sini merasakan sakit yang luar biasa. Tidak menemukan sebuah kedamaian dari takdir. Hari-hariku penuh dengan lamunan takdir bersamamu, tapi ketenangan tersebut diambil paksa oleh sang takdir. Kedamaian hanya bisa dirasakan bagi mereka yang diizinkan masuk ke dalam hidupmu. Bukan seperti diri ku yang hanya memperhatikanmu dari kejauhan. Wahai rembulan, ia yang memilikimu pasti akan memiliki dunia dan kebahagiaan. Seorang buruh yang bekerja keras menambang emas hanya untuk dikasihkan kepada orang bodoh yang duduk di tempat teduh. Begitulah takdir yang kurasa”.
“Maafkan aku wahai Rembulan. Kecemburuan membuat hati dan pikiran ini terlilit nafsu dan kebencian. Bagi diri ku yang dipenuhi oleh cinta, ketidakmampuan takdir menyatukan kita bagaikan seorang semut menyerang gajah. Ia tidak berpengaruh sama sekali. Cintaku padamu tidak akan padam, meski permata telah tertutup oleh cangkang yang keras dan tidak mungkin kurobohkan. Demi Allah aku mencintaimu sepenuh jiwa dan ragaku. Kau adalah segalanya bagiku wahai Rembulan”. Rintihan Pungguk pada Rembulan.
Pungguk seorang pecinta sejati dengan penderitaannya tetap mencintai Rembulan. Meskipun akhirnya raga pungguk tidak kuasa menahan derita yang jiwanya alami. Raga pungguk perlahan terkulai lemah dan akhirnya terbaring di bawah sang Pohon Zaitun. Sampai akhir pun Rembulan tidak mengetahui seorang Pungguk yang mencintai diri sepenuh Jiwa dan Kehidupannya.
Kini sayap-sayap pecinta sejati telah patah. Pungguk tak bisa lagi menatap Rembulan yang Ia cintai. Rembulan telah sepenuhnya berada di balik bayang sang Mentari. Raga Pungguk terkulai lemah di atas tanah. Karena sayap hati dan jiwanya telah patah dan terbebas menuju nirwana.
Penutup
Oke untuk artikel Kisah Pungguk Mengharapkan Rembulan cukup sampai di sini saja. Jangan lupa bagiin juga ya.
Bagi kamu yang memiliki kritik dan saran yang dapat membangun blog ini, kamu bisa mengirimkannya ke alamat email berikut: aripviker@gmail.com
Kata kunci: kisah pungguk mengharapkan rembulan. Pungguk merindukan rembulan. Pungguk dan rembulan. Cerita pungguk dan rembulan.
0 Komentar